Selasa, 09 Juni 2015

SEHAT ITU MAHAL

Sehat itu mahal, tetapi kalau tidak sehat jauh lebih mahal. Hal itu merupakana filosofi kesehatan. Kita baru merasakan bahwa sehat itu mahal apabila kita sudah merasakan sakit. Apabila kita sudah mengeluarkan berlembar-lembar rupiah untuk biaya pengobatan. Saat harus keluar masuk rumah sakit atau bolak-balik melakukan terapi. Salah satu pepatah yang sudah taka sing lagi mengatakan bahwa mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Penyakit kronis modern dapat dicegah melalui penerapan gaya hidup sehat. Upaya pencegahan tersebut sekaligus dapat menghindari beratnya beban financial untuk melakukan pengobatan. Oleh karena itu, strategi pencegahan memang merupakan cara jitu untuk masyarakat kita.

“Kesehatan adalah kekayaan”. (Pepatah China)

Untuk melakukan sebuah usaha preventif, modal yang dibutuhkan bukanlah uang, melainkan pengetahuan dan disiplin diri. Kita tidak perlu menjadi seorang dokter agar bisa sesehat dokter karena pada kenyataannya banyak juga dokter yang terserang penyakit. Kita cukup memiliki pengetahuna tentang bagaimana pola hidup sehat, apa saja menu makanan yang baik bagi tubuh, bagaimana istirahat yang sempurna, olahraga apa saja yang bisa dilakukan, dan bagaimana cara menghindari stress. Lebih dari separuh penyakit yang diderita oleh masyarakat modern alami sesungguhnya tidak perlu terjadi. Selanjutnya, kita mendisiplinkan diri untuk tetap mempertahankan pola hidup sehat tersebut.

Berdisiplin dalam hidup berarti juga menanamkan karakter ingin menjunjung tinggi kebenaran, menerima tanggung jawab, menunda kepuasan, dan hidup senantiasa seimbang dunia-akhirat. Hanya diri kita sendiri yang bisa menentukan sejauh mana akan berhasil untuk mempertahankan pola hidup sehat dan bagaimana cara mempertahankan disiplin diri. Bagaimanapun, sehat itu jauh lebih penting. Mengabaikan kesehatan sama artinya dengan memupuk bibit penyakit yang menjadi sebuah bom waktu di dalam tubuh dan siap meledak kapan pun.

Pada saat sakit, untuk kembali sehat, kita membutuhkan biaya yang tidak sedikit, misalnya oksigen yang kita hirup. Kita harus membayar mahal untuk oksigen, padahal sebelumnya kita bisa bernapas bebas sepuasnya tanpa membayar sedikitpun. Salain dari segi pengeluaran, tubuh yang tidak sehat tentu dapat mengganggu produktivitas dan menghambat interaksi kita dengan oran lain. Jadi, sekalipun kita mampu secara financial untuk membiayai pengobatan sampai ke luar negeri, membayar kamar rumah sakit mewah, atau membeli obat-obatan yang mahal, tetap saja tidak akan senyaman sehat karena untuk sekedar tertawa atau berjalan menikmati dunia luar seperti biasanya saja kita tidak mampu melakukannya.

Lalu, bagaimana jika kita tidak memiliki kemampuan secara financial. Hal itu lebih buruk lagi. Kita sudah sering melihat dan mendengar dari berita-berita di media massa, baik cetak maupun elektronik tentang bagaimana kurangnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu. Bahkan, berbagai macam fenomena pengobatan terjadi, sebut saja fenomena mengenai batu ajaib milik seorang anak bernama Ponari. Masyarakat banyak meyakini bahwa batu yang dicelupkan oleh Ponari ke dalam segelas air putih mampu menyembuhkan berbagai penyakit yang mereka derita. Alhasil, bukan hanya ratusan, melainkan ribuan orang yang datang dari berbagai daerah untuk melakukan pengobatan tersebut. Padahal, tidak ada pembuktian secara medis/ilmiah, melainkan sugesti masyarakat tersebut dan parahnya lagi semakin meningkatnya animo masyarakat sampai ada yang tidak mampu berpikir secara lebih rasional dan menggunakan air selokan disekitar rumah Ponari.

“Orang arif tidak mengobat yang sudah jatuh sakit, tetapi menjaga kesehatan dan mengobatinya sebelum jatuh sakit. Bila orang yang sudah jatuh sakit, lalu berobat, sama saja seperti orang yang haus, lalu baru berpikir untuk menggali sumur, atau sudah terjadi peperangan baru mulai membuat senjata.” (Pepatah Tiongkok)

Hidup adalah sebuah perjalanan dan kita adalah pengemudinya. Oleh karena itu, kita sendirilah yang akan menentukan ke mana arah perjalanan. Apakah perjalanan kita harus tersandung denga berbagai keluhan penyakit akibat kualitas hidup yang buruk. Kualitas hidup kita merupakan akumulasi dari segala keyakinan, kebiasaan, dan sikap yang kita jalani sepanjang perjalanan hidup. Mempersiapkan sebuah kehidupan yang lebih baik kelak di hari tua, tidak cukup hanya dengan keinginan semata tanpa perbuatan berarti untuk melakukan sebuah investasi kesehatan sejak dini. Bukan berarti bahwa umur panjang menjadi target penting dalam perjalanan hidup, malainkan bagaimana melakoni hidup dengan benar di setiap tingkatan usia dalam fase kehidupan ini.

Saat ini, kita memasuki graying revolution. Semakin banyaknya orang yang berumur panjang di dunia. Akan tetapi, tidak berarti bahwa mereka bahagia karena belum tentu berkualitas. Misalnya, di Indonesia yang tingkat usia harapan hidup manusia saat ini rata-rata 69 tahun. Pembangunan nasional yang telah dilakukan oleh pemerintah berhasil memperbaiki kesehatan penduduk Indonesia, berkurangnya angka kematian bayi, dan kematian dewasa dapat diperlambat. Sebagai perbandingan, rata-rata angka harapan hidup penduduk Indonesia di awal 1970-an hanya 45,7 tahun saja. Memasuki awal millennium terjadi peningkatan, data sensus tahun 2000 menghasilkan estimasi rata-rata sebesar 65,4 tahun atau 20 tahun lebih lama dibandingkan 30 tahun lalu. Pada tahun 2030 diperkirakan angka harapan hidup tersebut akan semakin meningkat mencapai 84 tahun untuk wanita dan 81 tahun untuk lak-laki (Ethnicity and ageing in Indonesian 2000-2050). Untuk menjadi lansia yang berkualitas, kita harus mulai memperhatikan pola hidup yang sehat sejak dini. Hal itu agar kita bisa tetap sehat, produktif, dan mandiri serta menjadi asset karena usia yang panjang, namun sakit-sakitan dapat menjadi beban bagi penduduk usia produktif.


“Di setengah kehidupan kita mengorbankan kesehatan untuk mendapatkan uang. Di setengah lainnya kita mengorbankan uang untuk mendapatkan kembali kesehatan.” (F.M. Voltaire)