Sehat
itu mahal, tetapi kalau tidak sehat jauh lebih mahal. Hal itu merupakana
filosofi kesehatan. Kita baru merasakan bahwa sehat itu mahal apabila kita
sudah merasakan sakit. Apabila kita sudah mengeluarkan berlembar-lembar rupiah
untuk biaya pengobatan. Saat harus keluar masuk rumah sakit atau bolak-balik
melakukan terapi. Salah satu pepatah yang sudah taka sing lagi mengatakan bahwa
mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Penyakit kronis modern dapat
dicegah melalui penerapan gaya hidup sehat. Upaya pencegahan tersebut sekaligus
dapat menghindari beratnya beban financial untuk melakukan pengobatan. Oleh karena
itu, strategi pencegahan memang merupakan cara jitu untuk masyarakat kita.
“Kesehatan
adalah kekayaan”.
(Pepatah China)
Untuk
melakukan sebuah usaha preventif, modal yang dibutuhkan bukanlah uang,
melainkan pengetahuan dan disiplin diri. Kita tidak perlu menjadi seorang
dokter agar bisa sesehat dokter karena pada kenyataannya banyak juga dokter
yang terserang penyakit. Kita cukup memiliki pengetahuna tentang bagaimana pola
hidup sehat, apa saja menu makanan yang baik bagi tubuh, bagaimana istirahat
yang sempurna, olahraga apa saja yang bisa dilakukan, dan bagaimana cara
menghindari stress. Lebih dari separuh penyakit yang diderita oleh masyarakat
modern alami sesungguhnya tidak perlu terjadi. Selanjutnya, kita mendisiplinkan
diri untuk tetap mempertahankan pola hidup sehat tersebut.
Berdisiplin
dalam hidup berarti juga menanamkan karakter ingin menjunjung tinggi kebenaran,
menerima tanggung jawab, menunda kepuasan, dan hidup senantiasa seimbang
dunia-akhirat. Hanya diri kita sendiri yang bisa menentukan sejauh mana akan
berhasil untuk mempertahankan pola hidup sehat dan bagaimana cara
mempertahankan disiplin diri. Bagaimanapun, sehat itu jauh lebih penting. Mengabaikan
kesehatan sama artinya dengan memupuk bibit penyakit yang menjadi sebuah bom
waktu di dalam tubuh dan siap meledak kapan pun.
Pada
saat sakit, untuk kembali sehat, kita membutuhkan biaya yang tidak sedikit,
misalnya oksigen yang kita hirup. Kita harus membayar mahal untuk oksigen,
padahal sebelumnya kita bisa bernapas bebas sepuasnya tanpa membayar
sedikitpun. Salain dari segi pengeluaran, tubuh yang tidak sehat tentu dapat
mengganggu produktivitas dan menghambat interaksi kita dengan oran lain. Jadi,
sekalipun kita mampu secara financial untuk membiayai pengobatan sampai ke luar
negeri, membayar kamar rumah sakit mewah, atau membeli obat-obatan yang mahal,
tetap saja tidak akan senyaman sehat karena untuk sekedar tertawa atau berjalan
menikmati dunia luar seperti biasanya saja kita tidak mampu melakukannya.
Lalu,
bagaimana jika kita tidak memiliki kemampuan secara financial. Hal itu lebih
buruk lagi. Kita sudah sering melihat dan mendengar dari berita-berita di media
massa, baik cetak maupun elektronik tentang bagaimana kurangnya pelayanan
kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu. Bahkan, berbagai macam fenomena
pengobatan terjadi, sebut saja fenomena mengenai batu ajaib milik seorang anak
bernama Ponari. Masyarakat banyak meyakini bahwa batu yang dicelupkan oleh
Ponari ke dalam segelas air putih mampu menyembuhkan berbagai penyakit yang
mereka derita. Alhasil, bukan hanya ratusan, melainkan ribuan orang yang datang
dari berbagai daerah untuk melakukan pengobatan tersebut. Padahal, tidak ada
pembuktian secara medis/ilmiah, melainkan sugesti masyarakat tersebut dan
parahnya lagi semakin meningkatnya animo masyarakat sampai ada yang tidak mampu
berpikir secara lebih rasional dan menggunakan air selokan disekitar rumah
Ponari.
“Orang arif
tidak mengobat yang sudah jatuh sakit, tetapi menjaga kesehatan dan
mengobatinya sebelum jatuh sakit. Bila orang yang sudah jatuh sakit, lalu
berobat, sama saja seperti orang yang haus, lalu baru berpikir untuk menggali
sumur, atau sudah terjadi peperangan baru mulai membuat senjata.” (Pepatah
Tiongkok)
Hidup
adalah sebuah perjalanan dan kita adalah pengemudinya. Oleh karena itu, kita
sendirilah yang akan menentukan ke mana arah perjalanan. Apakah perjalanan kita
harus tersandung denga berbagai keluhan penyakit akibat kualitas hidup yang
buruk. Kualitas hidup kita merupakan akumulasi dari segala keyakinan,
kebiasaan, dan sikap yang kita jalani sepanjang perjalanan hidup. Mempersiapkan
sebuah kehidupan yang lebih baik kelak di hari tua, tidak cukup hanya dengan
keinginan semata tanpa perbuatan berarti untuk melakukan sebuah investasi
kesehatan sejak dini. Bukan berarti bahwa umur panjang menjadi target penting
dalam perjalanan hidup, malainkan bagaimana melakoni hidup dengan benar di
setiap tingkatan usia dalam fase kehidupan ini.
Saat
ini, kita memasuki graying revolution. Semakin banyaknya orang yang berumur
panjang di dunia. Akan tetapi, tidak berarti bahwa mereka bahagia karena belum
tentu berkualitas. Misalnya, di Indonesia yang tingkat usia harapan hidup manusia
saat ini rata-rata 69 tahun. Pembangunan nasional yang telah dilakukan oleh
pemerintah berhasil memperbaiki kesehatan penduduk Indonesia, berkurangnya
angka kematian bayi, dan kematian dewasa dapat diperlambat. Sebagai perbandingan,
rata-rata angka harapan hidup penduduk Indonesia di awal 1970-an hanya 45,7
tahun saja. Memasuki awal millennium terjadi peningkatan, data sensus tahun
2000 menghasilkan estimasi rata-rata sebesar 65,4 tahun atau 20 tahun lebih
lama dibandingkan 30 tahun lalu. Pada tahun 2030 diperkirakan angka harapan
hidup tersebut akan semakin meningkat mencapai 84 tahun untuk wanita dan 81
tahun untuk lak-laki (Ethnicity and ageing in Indonesian 2000-2050). Untuk menjadi
lansia yang berkualitas, kita harus mulai memperhatikan pola hidup yang sehat
sejak dini. Hal itu agar kita bisa tetap sehat, produktif, dan mandiri serta
menjadi asset karena usia yang panjang, namun sakit-sakitan dapat menjadi beban
bagi penduduk usia produktif.
“Di setengah
kehidupan kita mengorbankan kesehatan untuk mendapatkan uang. Di setengah
lainnya kita mengorbankan uang untuk mendapatkan kembali kesehatan.” (F.M.
Voltaire)